Langsung ke konten utama

ROHINGYA dan EMPATI ACEH


Foto: Pinterest.com

Konvensi 1951 mendefenisikan bahwa seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada di luar negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara teresebut disebut sebagai pengungsi.
Etnis Rohingya memenuhi semua unsur tersebut. Mereka pengungsi yang selayaknya menjadi perhatian dunia internasional. Etnis muslim dan minoritas di Myanmar eksodus menembus batas teritorial, meninggalkan negara atau tempat tinggalnya, meninggalkan bagian-bagian hidup mereka, rumah, kepemilikan dan keluarganya. Mereka mengungsi karena negara asalnya tidak menjamin perlindungan atas mereka. Merujuk pada Konvensi 1951, maka perlindungan dan bantuan kepada mereka menjadi tanggung jawab komunitas internasional. Selanjutnya dapat dibaca di http://www.unhcr.or.id.
Mencermati antusiasme masyarakat dalam memberi dukungan terhadap keberadaan pengungsi Rohingya, sudah sepantasnya Pemerintah Aceh mengambil sikap lebih bijak dan pasti dalam penanganan keberlanjutan hidup muslim yang sering disebut sebagai manusia perahu tersebut. Gerakan peduli ini dapat dilihat di dunia maya dan dunia nyata yang terjadi secara berbarengan.
Kampanye di sosial media bukan hanya untuk sebuah isu tapi dapat dianggap sebagai sebuah aksi nyata yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan. Trend mempengaruhi kebijakan melalui sosial media terbukti telah mampu memberi pengaruh besar bagi kebijakan pemerintah seperti apa yang dilakukan oleh change.org.
Menangani pengungsi antar-negara dalam jumlah banyak seperti yang terjadi di Aceh hari ini tentu saja bukan persoalan mudah, dan tidak ada seorangpun dapat menjamin bahwa gelombang selanjutnya dapat dihindari. Dalam seminggu terakhir saja setidaknya telah terjadi beberapa gelombang kedatangan saudara seagama tersebut. Suka tidak suka, senang tidak senang mereka telah mendarat dengan kondisi memprihatinkan di antara kita.
Kepedihan terhadap apa yang dialami di negara asal mereka, Myanmar telah menjadi bukti yang cukup bagi kita untuk mengukur bagaimana hak hidup mereka dihargai. Bagi orang Aceh dengan melihat sorot mata mereka saja sudah dapat memamahi apa yang dirasakan tanpa harus ditunjukkan bekas penganiayaan di tubuhnya. Konfik selama tiga puluhan tahun telah menjadi sekolah alam bagi masyarakat tentang “psikologi penderitaan”, apalagi kemudian dihumbalang lagi oleh gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Ini memumbuat empati Aceh menyatakan wujudnya, Aceh paham betul makna dari derita konflik dan bencana.
Aksi riil terhadap etnis Rohingya yang dilakukan saat ini tentu saja masih sebatas membantu mengeluarkan mereka dari masa-masa darurat untuk hidup. Dan itu tidak mungkin akan berlangsung terus menerus dengan cara penggalangan dana dan bantuan. Setelah bantuan masa panik ini, bagaimana mereka harus hidup? Apa yang bisa dilakukan pemerintah khususnya Pemerintah Aceh?
Sikap pemerintah dalam masalah ini tentu saja berbeda. Bagi Jakarta, persoalan ini menyangkut kedaulatan negara, meskipun sedikit lucu. Sementara Aceh melihatnya dalam konteks se-agama dan kesamaan nasib. Dan mengenai penanganan imigran yang digolongkan kepada imigran gelap seperti ini, sejauh ini belum diatur secara regulasi di Indonesia. Karena kekhususannya, Aceh sejatinya dapat menjadi tonggak awal bagi diaturnya regulasi baru tentang permasalahan ini dengan mengadopsi sisi-sisi kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat.
Ada dua pola penanganan yang bisa dilakukan jika sikap Pemerintah Aceh siap menerima mereka secara permanen dengan makna menjadikan mereka sebagai etnis baru di Aceh dan dianggap sebagai bagian dari masyarakat Aceh.
Pertama, menempatkan mereka pada sebuah titik konsentrasi di mana mereka hidup dengan lingkungan mereka sendiri. Jadi nanti akan ada semacam kawasan etnis Rohingya seperti kampung Aceh di Thailand, misalnya. Dengan cara ini akan memudahkan lembaga donor seperti UNHCR atau IOM untuk membantu mereka membangun masa depan baru di Aceh.
Atau kedua, mereka disebar ke dalam masyarakat di bawah kontrol gampong dan kecamatan. Hal ini mengadopsi rancangan penanganan pengemis. Pada dekade 90-an, H. Badurrzzaman, S.H., M.Hum., dkk. (saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Adat Aceh), telah merancang pola penanganan pengemis berskala gampong. Setiap pengemis (orang yang melakukan pekerjaan mengemis dan secara kondisi fisiknya layak mengemis) yang ada di gampong–yang jika dihitung rata-rata tidak lebih dari 3 orang—didata kebutuhan kelayakan hidupnya lalu dipertanggungkan kepada seluruh masyarakat gampong untuk membantu secara bulanan atau mendorong orang-orang berada di sekitarnya untuk membantu secara aktif atau menyediakan lahan pinjaman yang dikelola dan bertani secara gotong royong oleh masyarakat dan hasilnya diberikan kepada pengemis agar tidak mengemis lagi.
Dengan demikian baru dapat diterapkan aturan atau kebijakan tentang kota bebas pengemis. Karena nyatanya penampungan merupakan masalah klasik yang sampai saat ini belum menjadi solusi akhir bagi pengemis.
Jika pola ini diadopsi, etnis Rohingya dengan cepat akan membaur dalam masyarakat. Namun teknis bantuan bagi mereka sedikit rumit. Setidaknya membutuhkan sentra informasi dan organisasi indukan yang pada akhirnya komunitas-komunitas baru seperti halnya etnik Cina saat ini di Aceh akan terus berkembang dan menjadi bagian dari kegemilangan masa depan Aceh.
Sentra informasi dan organisasi indukan sangat diperlukan sebagai penanggung jawab informasi di dalam dan luar negeri yang dikelola oleh mereka sendiri dengan pengawasan Pemerintah Aceh. Hal ini diharapkan mampu menekan gelombang selanjutnya di tahun-tahun mendatang. Karena mereka akan mudah sharing informasi ke negara mereka.
Kedua pola penanganan di atas tentu saja mempunyai sisi positif-negatif yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Aspek budaya, sosial, politik, ekonomi dan bahkan masalah aliran-aliran dalam agama secara perlahan akan memberi dampak bagi masyarakat Aceh. Namun regulasi yang diatur secara komprehensif akan mampu mengimbangi adaptasi dua latar etnis yang secara sekilas dari postur dan perawakan orang-orangnya tidak jauh berbeda.
Konsentrasi Bengali/Keling di Sumatera Utara dan komunitas etnik Cina di Aceh merupakan integrasi masyarakat yang sudah lama terjadi. Bukankah hak politik dan penguasaan sumber ekonomi telah diatur bagi mereka? Itu dapat menjadi acuan nasional untuk penanganan etnik Rohingya. Jakarta juga dapat mengadopsi regulasi yang mengatur tentang pendatang di Malaysia atau negara-negara lain yang dalam batas waktu tertentu mereka bisa saja diterima sebagai warga Negara.
Negara sebenarnya hanya sebuah batas wilayah administratif. Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai hak hidup di mana saja sebagai pengakuan terhadap kekhalifahan manusia di bumi. Meskipun tidak sesederhana itu, selaku manusia untuk manusia, apalagi sesama muslim—banyak hal yang dapat dilakukan, jika kita berkeinginan.
Akhirnya, pemerintah sebagai lembaga yang diberikan otoritas oleh rakyatlah yang mengambil sikap. Jika pemerintah sadar terhadap otoritas ini, maka rakyatlah yang harus didengar. Jika pemerintah mengandalkan kekuasaan, maka yang memiliki kekuasaan tertinggilah yang didengar. Harapan kita, Pemerintah Aceh masih memegang otoritas atas nama rakyat Aceh dan tidak tunduk pada kekuasaan. Selamat datang etnis baru Aceh. Semoga! Baca portalsatu.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petikan Senar Jasmine (Sebuah Cerpen)

Suhban baru saja merapikan peralatan kerjanya. Berbagai jenis kuas ia tempatkan di sudut ruang, kecuali box kuas mini ia biarkan di sisi palet lukis di bawah   easel stand   yang menampung sebuah   lukisan realis   berbahan dasar kanvas. Hanya butuh beberapa sentuhan kecil kepiawaian tangan Suhban untuk   finishing . Suhban tetap antusias meski memasuki bulan ketiga menuangkan segala ide untuk kesempurnaan lukisannya. Suhban mulai abai dengan perawatan dirinya, tampil sekenanya saja lazimnya seorang pelukis profesional. Rambutnya mulai membentuk gumpalan ikal meski sejatinya rambutnya hanya bergelombang kecil jika dirawat. Wajahnya mulai tampak lelah akibat kecapaian dan kekurangan asupan gizi, pola makannya tidak teratur sama sekali. Setelah beberapa kali gagal pinang, Suhban fokus di kamar melukis sebagai pelariannya dari kenyataan bahwa kesederhanaan tidak dapat diandalkan lagi di ruang sempit sosial ketika materi menjadi segalanya sebagai tolok ukur. Ke...

Harmoni di Tepi Krueng Lokop dan Bakti Pak Tani untuk Negeri

  Seperti menyisir daerah pedalaman lainnya, menelusuri jalan ke Lokop, Aceh Timur, membutuhkan kesiapan yang matang. Harus didukung oleh jenis transportasi yang tidak biasa agar memudahkan melewati jalanan ekstrim setelah musim hujan. Jarak tempuh ke sana setidaknya membutuhkan waktu 4 jam dan melintasi dua kecamatan jika hitungan  start  dimulai dari simpangan Gampong Beusa, Peureulak di jalan nasional. Mobil dengan daya 4×4 direkomendasikan untuk menundukkan bebukitan berbatu akibat aspal yang tergerus air hampir separuh jalan ke sana. Saya tergabung dalam tim Forum Petani Organik Rakan Pak Tani yang menuju ke Lokop, Serbajadi salah satu kecamatan di sebelah selatan Aceh Timur. Forum ini diundang untuk melakukan sosialisasi kepada warga di sana tentang pola penanaman organik pada tanaman mereka. Tim ini hampir saja gagal menuju ke sana akibat mobil yang dipersiapkan tiba-tiba tidak bisa berangkat. Tidak ada pilihan lain, mobil Honda mobilio milik Zulfan akhirnya dipaks...

Tumpôk Asëë Lêt

Malam belum begitu larut, sisa sengatan terik siang hari masih menguap dari dinding sebuah warung kopi yang masih searah dengan sebuah bangunan nan luas dan megah, Meuligoe, tempatnya para Wali. Selaku penikmat kopi malam, tanpa sengaja kami telah melawan penjajahan oleh waktu. Larut dalam pembicaraan civil society dan good government yang tidak bertepi. Rona Aceh Damai menjadi buyar dan hambar ketika fakta-fakta menyadurkan realita miris. Kata damai dalam kondisi tertentu bagai memperjuangkan kata itu sendiri menjadi bagian dari semacam kosa kata baru agar masuk ke dalam sebuah kamus, setelah diskusi panjang terhadap pemaknaannya. Bukan seminar tentunya, reuni atau semacamnya. Tapi hanya pertemuan dan obrolan biasa sambil mencandai sekumpulan kacang yang sudah mulai berjamur dalam sebungkus ikatan plastik. Tetap punya nilai jual karena tersusun rapi dalam sebuah rak warung. Minimal keberadaannya memenuhi aneka menu agar tidak terkesan  hana sapue na . Sebuah perumpamaan keluar dar...