Langsung ke konten utama

RESENSI NOVEL | Cerita Sebelum Mou Helsinki



Muhadzdzier M Salda| Mengamati sebuah perdamaian Aceh seperti seekor anak burung yang baru saja belajar terbang setelah ia dilepas dari sarang oleh sang induknya. Ketika awalnya si anak burung memulai terbang turun bebas ke alam, ada sebuah keraguan di sana. Ia ragu sambil mengepak-ngepakkan sayapnya yang baru saja tumbuh. Melihat kedunia kehidupan sambil memperhatikan sang induk yang samar-samar mengajaknya terbang. Hal yang pertama kali si anak coba lakukan adalah melompat kesatu dahan ranting pohon ke ranting lainnya, begitu seterusnya hingga ia benar-benar memiliki cengkraman yang kokoh untuk memcengkram setiap ranting yang ia tempati.

Ketika ia telah yakin dengan apa yang ia lakukan, maka barulah ia memulai terbang mengikuti sang induk. Walau sekali ada angin yang menghantamnya hingga terjatuh ke menghampiri tanah, si anak burung bangkit dan mencobanya kembali berulang-ulang hingga masa usia ia menjadi tumbuh dewasa. Namun apakah ia benar-benar bisa bertahan hidup dari segala ancaman makhluk lain atau tertembak mati oleh pemburu burung hingga ia menjadi induk dewasa? begitulah damai Aceh hari ini. 

Kita tidak boleh lupa tentang perjalanan panjang proses perdamaian Aceh sebelum Mou-Helshinki yang sudah melewati usia 4 tahun lebih. Bahwa sebelum proses Nota Kesepemahaman Helshinki ada banyak cara yang telah dilakukan oleh berbagai pihak sebelumnya untuk menyumpal mulut senjata yang meletus di Aceh dengan kata damai. 

Sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam proses damai Aceh sebelummnya yang digagas oleh Henry Dunant Centre (HDC) pada tahun 2002, pengarang Novel Jejak DamaiAceh(kisah pergulatan batin aneuk Aceh) Boy Abdaz merekam sepak terjangnya sebagai staf HDC pada masa damai yang berujung Darurat Militer di Aceh setelah gagalnya pertemuan CoHa (Cessation of Hostilities Agreement) di Tokyo. 

Kisah berawal ketika Hidayat sang tokoh utama dalam novel ini ditangkap oleh pemerintah hingga diperiksa oleh penyidik. Hidayat yang ragu akan pengakuannya sebagai warga Indonesia dan juga sebagai warga Aceh. Penyidik yang melakukan penyelidikan pada sang tokoh utama itu yang dibuat kelimpungan karena berbagai alasan yang dikemukan Hidayat dalam kancah logika berpikir sebagai orang Aceh. ia bukanlah sebagai orang GAM(Gerakan Aceh Merdeka) tapi semua persoalan konflik dan penindasan yang membuatnya rela menjadi relawan untuk membantu memonitoring proses damai yang sedang berlangsung. Pergolakan batin seorang Aceh bagi hidayat yang miris melihat orang Aceh di dera konflik. 

Penyidik yang terus melontarkan pertanyaan seputar kegiatannya sebagai staf pada monitoring damai Aceh saat itu. Ia selalu ditanya tentang kedekatannya bersama orang-orang negosiator dari GAM. Sebagai orang Aceh tentu saja Hidayat punya hubungan emosional yang kuat dengan orang GAM itu. Tapi ia tidak mau mengaku terlibat sebagai GAM karena memang ia bukan GAM. Ini yang tidak di terima oleh penyidik dari Jakarta. kegalauannya sebagai aanak Aceh yang membuatnya harus memberikan alasan yang dapat masuk akal. Hidup dalam tembok penjara sebagai tahanan bersama teman-teman dengan nasib yang sama. Hidayat akhirnya bebas menhirup udara segar dari penjara atas bantuan seorang teman yang berhasil menyakinkan penyidik bahwa ia tidak pernah terlibat sebagai GAM. 

Melihat dari inisiatif proses pengarang novel ini saya angkat kedua jempol untuk sang penulis yang masih sangat muda. Anda boleh setuju atau tidak jika di Aceh hari ini sangat kurang sekali penulis yang menulis Novel. Padahal semua cerita seakan tak pernah berakhir setiap hari di Aceh, apalagi Aceh setelah didera amuk air laut dan konflik hingga 30 tahun lebih. Sejarah memang perlu ditulis dari berbagai jenis kelamin tulisan. Entah ia fiksi atau non-fiksi. Jangan nanti sejarah Aceh itu hanya menjadi dongeng semacam cerita rakyat pengantar tidur anak-anak. 

Kita tidak boleh lupa akan proses damai Aceh sebelum Mou Helshinki. Ketika gagal pertemuan Tokyo Mei 2003 saat itu, dan itu perlu kita catat dalam sejarah Aceh juga. Bukankah proses damai Mou Helshinki juga mengacu pada referensi proses damai-damai sebelumnya? Ini yang mesti dipahami. Jejak rekam Aceh ketika JSC masih kurang sekali referensi sejarahnya. Sebagai penulis novel pemula, Boy Abdaz telah melakukan sebuah hal kearah itu. 

Namun jika dilihat dari segi sastra masih kurang dirasakan dalam novel ini. Saya agak ragu juga menyebut ini novel. Buku ukuran saku ini lebih layak disebut sebagai novelet. Tapi sambil menikmati cerita kita disugukan dengan puisi, setidaknya ada lima puisi yang termaktub dalam novel ini. Dari segi konflik yang terjadi dalam cerita juga masih terasa sangat kurang sekali. Padahal, jika mengacu pada syarat sebuah cerita, konflik adalah suatu hal yang musti dimasukkan dalam cerita semacam novel supaya membuat pembaca ingin mengacu menyelesaikan sampai tamat. 

Akhir kata, selamat untuk pengarang buku ini karena telah menambah khasanah referensi sejarah damai di Aceh, kalaupun dalam sebuah cerita realis fiksi. Boy Abdaz telah melakukan sebuah hal merekam sejarah proses damai Aceh sebelumnya. Mudah-mudahan ini juga sebagai tonggak awal pengarang muda berbakat ini untuk menulis cerita-cerita selanjutnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda tentunya. Baca KitabMaop

Judul Buku       : Jejak Damai Aceh
Penulis             : Boy Abadz
Penerbit           : Bandar Publising, Aceh
Cetakan           : I, Agustus 2009
Tebal               : 150 Halanman
Ukuran Kertas  : 11 cm x 17.5 cm

[Halaman Budaya, Harian Aceh 2011]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petikan Senar Jasmine (Sebuah Cerpen)

Suhban baru saja merapikan peralatan kerjanya. Berbagai jenis kuas ia tempatkan di sudut ruang, kecuali box kuas mini ia biarkan di sisi palet lukis di bawah   easel stand   yang menampung sebuah   lukisan realis   berbahan dasar kanvas. Hanya butuh beberapa sentuhan kecil kepiawaian tangan Suhban untuk   finishing . Suhban tetap antusias meski memasuki bulan ketiga menuangkan segala ide untuk kesempurnaan lukisannya. Suhban mulai abai dengan perawatan dirinya, tampil sekenanya saja lazimnya seorang pelukis profesional. Rambutnya mulai membentuk gumpalan ikal meski sejatinya rambutnya hanya bergelombang kecil jika dirawat. Wajahnya mulai tampak lelah akibat kecapaian dan kekurangan asupan gizi, pola makannya tidak teratur sama sekali. Setelah beberapa kali gagal pinang, Suhban fokus di kamar melukis sebagai pelariannya dari kenyataan bahwa kesederhanaan tidak dapat diandalkan lagi di ruang sempit sosial ketika materi menjadi segalanya sebagai tolok ukur. Ke...

Harmoni di Tepi Krueng Lokop dan Bakti Pak Tani untuk Negeri

  Seperti menyisir daerah pedalaman lainnya, menelusuri jalan ke Lokop, Aceh Timur, membutuhkan kesiapan yang matang. Harus didukung oleh jenis transportasi yang tidak biasa agar memudahkan melewati jalanan ekstrim setelah musim hujan. Jarak tempuh ke sana setidaknya membutuhkan waktu 4 jam dan melintasi dua kecamatan jika hitungan  start  dimulai dari simpangan Gampong Beusa, Peureulak di jalan nasional. Mobil dengan daya 4×4 direkomendasikan untuk menundukkan bebukitan berbatu akibat aspal yang tergerus air hampir separuh jalan ke sana. Saya tergabung dalam tim Forum Petani Organik Rakan Pak Tani yang menuju ke Lokop, Serbajadi salah satu kecamatan di sebelah selatan Aceh Timur. Forum ini diundang untuk melakukan sosialisasi kepada warga di sana tentang pola penanaman organik pada tanaman mereka. Tim ini hampir saja gagal menuju ke sana akibat mobil yang dipersiapkan tiba-tiba tidak bisa berangkat. Tidak ada pilihan lain, mobil Honda mobilio milik Zulfan akhirnya dipaks...

Tumpôk Asëë Lêt

Malam belum begitu larut, sisa sengatan terik siang hari masih menguap dari dinding sebuah warung kopi yang masih searah dengan sebuah bangunan nan luas dan megah, Meuligoe, tempatnya para Wali. Selaku penikmat kopi malam, tanpa sengaja kami telah melawan penjajahan oleh waktu. Larut dalam pembicaraan civil society dan good government yang tidak bertepi. Rona Aceh Damai menjadi buyar dan hambar ketika fakta-fakta menyadurkan realita miris. Kata damai dalam kondisi tertentu bagai memperjuangkan kata itu sendiri menjadi bagian dari semacam kosa kata baru agar masuk ke dalam sebuah kamus, setelah diskusi panjang terhadap pemaknaannya. Bukan seminar tentunya, reuni atau semacamnya. Tapi hanya pertemuan dan obrolan biasa sambil mencandai sekumpulan kacang yang sudah mulai berjamur dalam sebungkus ikatan plastik. Tetap punya nilai jual karena tersusun rapi dalam sebuah rak warung. Minimal keberadaannya memenuhi aneka menu agar tidak terkesan  hana sapue na . Sebuah perumpamaan keluar dar...