Foto; Pinterest.com
Maraknya pelanggaran Syariat Islam di Aceh, telah memunculkan kekhawatiran yang mendalam. Malah, gencarnya pelanggaran tersebut dinilai sebagai reinkarnasi jahiliyah [Opini SI, 13/12/13]. Penilaian itu muncul menyikapi perilaku amoral beberapa remaja yang menyerang Kantor Dinas Syariat Islam (DSI) di Langsa beberapa waktu lalu. Penggunaan kata Jahiliyah dalam tulisan itu tentu saja dalam konteks perilaku, sebagaimana halnya reinkarnasi lebih kepada perilaku yang merasuk dalam wujud baru di generasi yang berbeda.
Ada hal yang menarik ketika ulasan itu menyoroti organisasi demokrasi dan HAM yang ditengarai ikut membela atau setidaknya memberi komentar dalam kasus itu yang secara tidak langsung menguntungkan posisi pelaku. Sehingga penegakan qanun syari’ah menjadi dilematis ketika disandingkan dengan produk hukum universal yang memberi batasan tertentu pada hak-hak dasar manusia.
Pembelaan oleh organisasi demokrasi dan HAM terhadap kasus PE dalam batas tertentu dapat diterima. Meskipun dalam masalah kontemporer, Islam versus HAM selalu menjadi perdebatan panjang hingga hari ini. Bukankah Jahiliyah sebenarnya lebih dikenal dengan pembunuhan dan menanam hidup-hidup anak perempuan mereka?
Lalu Islam datang menumpas perilaku melanggar— apa yang saat ini kita sebut sebagai hak dasar untuk hidup yang merupakan bagian dari HAM universal. Dalam konteks ini mari kita kaji ayat 70 dalam surat al-Isra’; "Dan sungguh Kami telah muliakan keturunan Adam dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna."
Quraish Shihab memandang ayat ini sebagai salah satu dasar pandangan Islam tentang hak asasi manusia. Artinya hak-hak dasar manusia itu diakui dalam Islam. Hanya saja ada beberapa bagian dalam Deklarasi HAM yang mungkin tidak selaras dengan konsep Islam.
Kasus PE menyangkut hilang nyawa seseorang secara tidak normal. Dan itu jelas harus mendapat perhatian semua kalangan waktu itu. Karena jika tidak, maka kematiannya tidak memberi pesan apa-apa kepada ahli syariat lainnya yang masih hidup. Sekian banyak pesan dan hikmah dapat diambil dari kasus ini. Pembelajaran bagi DSI sendiri, media dan masyarakat.
Satu hal yang sebanarnya harus kita lakukan adalah melihat bijak atas peristiwa-peristiwa itu. Sebuah peristiwa biasanya terdiri dari beberapa sebab yang terekonstruksi dalam sebuah kejadian.
Aspek sebab mempengaruhi penilaian terhadap sebuah analisa perkara. Masing-masing orang dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda tentu saja melihat sebab dari aspek pengetahuan mereka. Aktivis HAM melihat kasus PE dari sisi kemanusiaan, hak hidup dan lainnya, aktivis lainnya melihat kasus serupa dari aspek moral, regulasi dan sebagainya. Tentu saja hasil analisa mereka tidak selalu sama. Dan perbedaan ini seharusnya memperlengkap sebuah rekonstruksi kasus dan tidak saling klaim.
Silahkan saja berbicara tentang aspek sebab tanpa harus menentang aspek sebab lainnya. Aktivis HAM juga harus memahami konteks kedaerahan dimana ada produk qanun yang harus dihargai. Rekomendasi mereka dapat dilihat dalam skala luas yang dapat saja berlaku di negara manapun.
Namun sejauh ini rekomendasi itu tidak mempengaruhi proses penegakan hukum lokal. Mereka dapat berharap rekomendasi itu akan benar-benar bermakna manakala penanganan kasus dilakukan oleh pengadilan. Sehingga Syariat Islam tidak menjadi Terdakwa di negeri sendiri.
Belajar dari kasus ini, idealnya kota Langsa dapat menjadi titik awal bagi evaluasi menyeluruh penerapan qanun syari’at di Aceh. Karena secara geografis, kota Langsa mendekati wilayah perbatasan. Di sisi lain, kasus seperti ini tentu saja tidak boleh dilihat dari satu aspek saja ketika kantor atau personel DSI menjadi sasaran. Aib yang sempat muncul di kantor yang sama— jauh sebelumnya—harus masuk dalam kalkulasi evaluasi.
Perilaku semestinya tidak dapat menjadi landasan penilaian atas kemampuan sesorang. Sama halnya dengan perilaku pejabat yang melakukan pelanggaran norma, etika bahkan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri dengan uang rakyat. Padahal ia tadinya seorang Penceramah!
Sangat naif menilai kesiapan berdasarkan ketersediaan instrumen pelaksana yang memadai. Namun psikologi masyarakat alpa dari presentasi kebijakan. Tidak semua orang mampu menyamakan persepsi terhadap sebuah teks. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh tingkatan intelektual yang dimiliki setiap orang.
Karenanya, Kaffah yang dicita-citakan tidak pada lengkapnya instrumen, tapi bagaimana instrumen itu bekerja. Masyarakat berpikir dengan cara mereka sendiri ketika – misalnya, sekian persen calon pemimpin mereka dalam pilkada atau pileg tidak lulus baca al-Quran.
Terkadang kita menutup diri untuk dikritisi. Ditambah sensitifnya mengkritisi sebuah qanun syariat yang menyangkut keyakinan. Mengkritisinya bisa saja dianggap menolak syariat dan akibatnya fatal. Padahal kemunafikan terlihat di sepanjang jalan yang dilalui. Tidak perlu lebih dari 100 meter mengitari kota-kota di Aceh, dengan jelas terlihat toko-toko fashion dengan pajangan pakaian ala model di etalase.
Untuk siapa itu diperdagangkan? Jelas, pangsa pasarnya masyarakat Aceh yang tidak boleh menggunakan pakaian ketat. Bayangkan saja dilema sosial ini dalam masyarakat, khususnya perempuan. Situasi ini dapat menggoda siapapun. Tak terkecuali Penindak sendiri yang fotonya sempat muncul di media karena tertangkap kamera mengenakan jeans ketat di tempat umum.
Upaya-upaya penertiban harus masuk pada tontonan lokal. Siaran nasional terlalu rumit untuk dihindari. Namun bisa dimulai dengan produk VCD lokal yang secara terang benderang menampilkan artis penyanyi yang belum memenuhi standar qanun. Kecenderungan masyarakat kita masih suka meniru tampilan dari tontonan mereka. Dan mereka bisa saja berasumsi, artis Aceh, di tontonan bisa bergoyang seenaknya tanpa jilbab, lalu kemana larangan itu dituju?
Razia, di mata orang luar hanya memperburuk citra Aceh. Apalagi dilakukan bukan oleh instrumen yang dipersiapkan negara atau pemerintah daerah. Dan itu tidak akan memberi dampak positif apapun selain efek jera terhadap “korban” razia.
Tapi jika razia itu dilakukan secara terus menerus seperti Polisi Sheriff yang memonitor setiap pergerakan di jalanan, mungkin akan lebih bermanfaat. Tentu saja dimulai dengan tahapan sosialisasi dalam rentang waktu yang lama sebelum itu diterapkan.
Tulisan ini tidak bermaksud memojokkan penerapan Syariat Islam. Tetapi lebih kepada membuka aspek keberagaman terhadap kritisisasi Syariat Islam yang begitu mulia. Karena bicara siap, belum semua masyarakat Aceh siap dalam konteks memahami, menjalankan dan menjaga Qanun Syariat Islam. Selalu ada ombak-ombak kecil yang menghantam untuk memperkokoh sebuah dermaga.
Semoga semua kita terhindar dari sebuah analogi Cak Nur; Umat Islam mengasihani dan menjaga agamanya seperti seekor beruang yang menjaga tuan terkasihnya. Ketika sebuah lalat hinggap di badan tuannya, ia menghalau dengan berbagai cara. Sampai pada titik kesabarannya, beruang memukul lalat dengan sekuat tenaga karena begitu sayangnya ia kepada tuannya. Ia membanting dengan sangat keras. Saat sadar, ia menyesal bahwa tuannya ikut mati bersama lalat yang ia bunuh.
Komentar
Posting Komentar