![]() |
Foto: Pinterest.com |
Wajah
Islam terus berkembang mengikuti pola pemikiran ummat dan kemajuan peradaban
moderen. Perbedaan pendapat harus dipahami sebagai betapa
luasnya perkembangan dinamika pemikiran dalam Islam.Jangan terjebak pada sekat timur dan barat.
Islam adalah agama universal yang
menuntun ummatnya menuju sebuah tujuan tertinggi yakni ridha Yang Maha Kuasa
dan surga yang dijanjikan sebagai imbalan atas pengabdiannya.
Islam hadir sebagai rahmatan li al-‘alamiin yang mempunyai pengertian
maha luas semaha-lebar alam ciptaanNya. Bukan hanya bagi manusia, tapi juga
untuk setiap makhluk, bahkan yang kita benci sekalipun.
Islam menghargai perbedaan
sebagaimana tersirat dalam ayat-ayatNya. Manusia yang satu bentuk saja
dijadikan Allah dalam berbagai bangsa dan suku agar mudah untuk
ditandai/dikenali. Dan tentu saja setiap bangsa atau suku mempunyai peradaban
dan budaya masing-masing. Berbeda pendapat adalah rahmah, sejatinya dipahami sebagai betapa luasnya
berkembang dinamika pemikiran dalam Islam.
Tumbuh dan berkembangnya beberapa
mazhab dalam masalah hukum Islam menunjukkan bagaimana budaya dan kondisi
sosial ummat di zaman dan wilayah yang berbeda mempengaruhi pandangan hukum
para ulama. Belum lagi faktor pemahaman para ulama sendiri yang menafsirkan
nash yang sama dengan hasil yang berbeda. Ini tentu saja tidak terlepas dari
tingkatan keilmuan masing-masing imam.
Sampai hari ini, wajah Islam terus
berkembang mengikuti pola pemikiran ummat dan kemajuan peradaban moderen.
Meskipun masih ada yang meyakini bahwa masa khalifah dan era mazhab adalah
landasan paling ideal untuk rujukan hukum, karenanya mencoba menggiring
pemikiran dan perkembangan hukum ke masa lalu, padahal yang kita hadapi
persoalan kontemporer.
Sebaliknya, intelektual modern
menawarkan pemahaman yang lebih maju dengan mengadopsi teori-teori islam-barat
tempat di mana mereka menempuh pendidikan. Tidak ada yang lebih ideal selain
dapat mempertemukan kedua pemikiran ini.
Wajah Islam di Aceh juga tak luput
dari pengaruh budaya dan perilaku sosial yang terus berkembang. Metode
tradisional-salafi yang sekian lama dipertahankan, kini secara perlahan telah
menyesuaikan bentuknya untuk menjawab tantangan yang lebih umum. Dari tingkatan
sekolah dasar sampai ke jenjang perguruan tinggi kini dapat ditempuh di
pesantren yang dulunya tradisional.
Meskipun demikian, Islam timur (yang
dimaksudkan di sini adalah Timur Tengah) yang ditampilkan oleh alumni Timur
Tengah masih harus berjuang untuk mendapatkan tempat yang sama di mata masyarakat.
Islam timur dianggap rapuh untuk hujjah karena tidak terlalu mempersoalkan
perbedaan pendapat para imam mazhab. Sehingga pandangan hukum mereka di
kalangan penganut syafi’iyah murni dianggap mengancam keseragaman pemahaman
hukum. Bukankan Timur Tengah sebenarnya pusat peradaban Islam?
Wajah Islam barat secara umum
ditampilkan oleh intelektual kampus yang telah menempuh pendidikan pasca
sarjana di luar negeri [barat]. Modernisasi pemikiran Islam versi barat
mempengaruhi pola pikir mereka dan mencoba merobah paradigma lama tentang wajah
Islam di Aceh.
Pandangan-pandangan mereka
sebahagiannya ditolak secara mentah karena dianggap terlalu modern, sekuler,
kadang juga liberal. Sayangnya para pengkritik sendiri terkadang tidak terlalu
memahami perbedaan terminologi tiga kata tersebut.
Barat mempunyai wajah Islam dalam
pandangan mereka sendiri.
Bayangkan saja bagaimana Keith L.
Moore, seorang ahli Anatomi dan Embriologi menemukan tauhidnya ketika
menyadari Muhammad SAW tidak mungkin mempunyai microskop pada masanya untuk
melihat pertumbuhan ‘alaqah (segumpal darah) yang
mirip lintah di dinding rahim sebagai cikal bakal janin. Ia kemudian masuk
Islam ketika menemukan penjelasan ilmiah itu termaktub dalam QS. Al Mu’minuun:
13-14 yang telah ada sejak 7 Masehi.
Prof. Jackues Y Costeau, sebagai
seorang Oceanografer (pakar kelautan) ketika menyelam menemukan beberapa mata
air tawar di tengah kedalaman lautan. Mata air tersebut berbeda kadar kimia,
warna dan rasanya serta tidak bercampur dengan air laut yang lainnya. Bertahun-tahun
ia berusaha mengadakan penelitian dan mencari jawaban misteri tersebut. Lalu
seorang profesor muslim menjelaskan surat Ar-Rahman; 19-20 dan al-Furqon; 53
kepadanya. Lalu ia masuk Islam.
Dua peristiwa di atas sebenarnya
menunjukkan wajah Islam yang berbeda sama sekali. Islam terdapat dalam ke-Maha
TahuanNya yang sangat sedikit dapat dipahami manusia. Ini juga menjelaskan
tidak ada sekat antara ilmu kealaman dan ilmu agama. Hanya saja sebahagian kita
masih sulit menerima dan mempersempit ruang ilmu dengan mengatakan ilmu umum
tidak bermanfaat bagi hubungan manusia dengan Sang Khaliq.
Menghargai perbedaan dan tidak
saling klaim akan menampilkan wajah Islam yang rahmat bagi sekalian alam.
Karena ketika segolongan muslim mengklaim kebenaran hanya ada di pihak mereka
serta menolak dan mencaci maki yang bertentangan dengannya, maka sebenarnya ia
juga sedang mencoreng wajah Islam dalam bentuk yang lain.
Kita merasa bangga dapat bersatu
dalam satu iktiqad ahlus shunnah wal jama’ah.
Kita mengakui mazhab-mazhab yang berada di bawahnya. Namun sangat sedikit dari
kita yang mampu memahaminya secara utuh. Kita hanya mampu memahami satu atau
dua mazhab saja dari empat mazhab populer. Tapi dengan bangga menepuk dada
sebagai ahlus shunnah wal jama’ah sejati.
Oleh karenanya, idealnya kita dapat
menempatkan dengan bijak wajah Islam kita. Islam timur harus dihargai sebagai
sumber pengetahuan yang maha besar dan luas, karena Islam muncul bukan dari
Aceh. Islam barat dapat ditempatkan sebagai keberagaman yang lebih maju untuk
meletakkan standar kita, agar tidak dianggap kuno dan tradisional.
Kekurangan kita, mungkin, melihat
wajah Islam hanya dalam ruang lingkup yang begitu sempit, Aceh. Tidak pernah
melihat secara nyata dan mempelajari bagaimana Islam di wilayah dan benua lain
berkembang. Sehingga ketika ide-ide baru dari luar datang dan saling
berhadapan, kita cenderung menolak dan menjudge ide
mereka identik dengan wahabi atau sekuler.
Wajah Islam yang dimaksudkan di sini
tentu saja bukan dalam arti sempit dan di luar konteks aliran-aliran yang
berkembang. Karena negara telah menunjuk Majelis Permusyawaratan Ulama untuk
menfatwakan aliran mana saja yang pemikirannya telah menyimpang dan difatwakan
sesat. Meskipun masih ada anasir yang merasa mempunyai kewenagan untuk
menyatakan sesat. Akibatnya, gesekan dalam masyarakat semakin terasa bahkan
menimbulkan aksi kekerasan dan korban nyawa.
Di akhir tulisan ini, kita ingin
membangun kesadaran dan mencermati kembali makna Islam yang rahmatan lil alamin, yang tidak dipahami sebatas
rahmat Allah SWT didapati oleh non-muslim karena bersamaan dengan diberikan
RahmatNya kepada muslimin.
Menempatkan dan menghargai perbedaan
(khilafiah) pada batas saling memahami dan menghargai kapasitas keilmuan
masing-masing. Sehingga tidak saling klaim yang mengakibatkan buruk muka suatu
golongan dan itu juga berakibat pada wajah Islam kita. Yang perlu diingat,
suatu golongan sejauh belum ada yang menyatakan (difatwakan) sesat atau murtad
atau menjadi kafir, maka ia muslim. [**]
Komentar
Posting Komentar