![]() |
Foto: Ist./WA |
Seketika seisi ruangan menjadi senyap. Tidak ada yang berani memberi komentar. Begitulah jika seorang guru yang bijaksana memberi teguran. Tak ada kata kasar sedikitpun. Tapi setiap kata yang keluar dari ucapannya menghantam kami seperti gulungan topan Tornado. Beliau bertanya dengan bijak, lalu meminta kami memperbandingkan apa yang kami lakukan dan apa yang seharusnya kami lakukan.
Begitu kesan yang
membekas sampai saat ini tentang bagaimana seorang H. Imam Syuja’ menyikapi
sebuah kelalaian yang kami lakukan. Ketika itu Tim Banda Aceh di bawah naungan Henry
Dunant Centre (HDC) melakukan perjalanan ke Aceh Barat. Karena beliau tidak
sempat ikut serta, sepulang dari sana kami disambangi beliau ke ruangan kerja
dan menanyakan hasil pertemuan di sana.
Mulanya hanya
pembicaraan biasa sampai beliau menanyakan tentang materi publikasi yang kami
bawa sebagai bagian dari sosialisasi damai ke daerah-daerah. Dua dari 5 orang
di ruangan itu menjawab “Alhamdulillah, semuanya
terlaksana dengan baik”. Lalu dijawab beliau dengan kata yang sama, Alhamdulillah.
“Tapi… bijakkah ureueng droeneuh meminta saya untuk
mempersiapkan sesuatu dan saya mempersiapkannya, lalu kemudian ureueng droeneuh menyerahkannya kepada
orang lain? Bagaimana saya akan dinilai oleh rekan-rekan saya di sana?” Kalimat
inilah topan-nya. Diucapkan dengan nada rendah dan sedikit sedih, bukan kecewa.
Semua tertunduk, bahkan tidak ada yang berani saling melirik ke yang lain.
Pak Imam (sapaan
akrab beliau) telah menghubungi sejawatnya untuk dimintai kesediaan membantu
menyebarkan materi publikasi yang kami bawa. Tapi ketika tiba di Aceh Barat,
kami dihadapkan pada pilihan lain yang diarahkan oleh pimpinan tim untuk
diserahkan melalui rekannya. Semua bermaksud baik, agar materi publikasi
tersosialisasi.
Pada kesempatan
yang lain, saya mencoba menyelami sikap arif beliau manakala di bulan Ramadhan
2002, kami berangkat ke Aceh Tengah di damping David Gorman dari HDC. Di tengah
perjalanan kami berhenti untuk melakukan shalat jamak di waktu ashar. Sambil
turun dari mobil beliau berpesan kepada Penterjemah agar menyampaikan ke David
bahwa tim akan ke masjid untuk melakukan shalat. Lalu tambah beliau “Suruh
David minum, kasihan dia dari tadi menemani (puasa) kita”.
Beberapa orang
bingung, termasuk saya. Kenapa pak Imam tidak membiarkannya saja? (terserah
David –non muslim— mau minum atau tidak). Sepanjang perjalanan saya mencoba
menganalisa sikap ini. Dan ketika sampai di tujuan, teman Penterjemah
menjelaskan bahwa David tidak minum sekalipun.
Dalam anggapan saya, sepertinya
Pak Imam menyadari bahwa bukan wilayahnya untuk mengislamkan seorang David.
Islam itu hidayah. Tanpa hidayahNya, seorang manusia tidak akan menemukan jalan
menujuNya. Tapi David puasa hari itu! Dan itu cukup memberi pelajaran bagi
saya.
Sungguh! Tidak
cukup ruang untuk menguraikan sikap, kebijaksanaan, peran dan jasa baik beliau
yang dihibahkan untuk Aceh dan generasi penerusnya. Tentang bagaimana beliau
membebaskan tawanan ketika GAM sangat “miskin” rasa percaya, membawa dan
mempertemukan Tim Enam ke pimpinan tertinggi GAM, Hasan Tiro, juga keberadaan
beliau sebagai orang yang bukan GAM tapi disegani oleh kalangan GAM yang sempat
memusingkan Jakarta.
Sosoknya yang
sederhana, untuk kesekian kali, tergambar lagi ketika saya dan seorang teman
penulis mengunjungi beliau di ujung 2014 lalu untuk meminta pandangannya
terhadap upaya kami menuliskan buku Proses Damai Aceh. Pak Imam menjamu kami di
sebuah ruangan panitia Masjid Taqwa Muhammadiyah yang terletak di Jalan KH
Ahmad Dahlan Banda Aceh, tempat dimana ia banyak menghabiskan waktunya
sehari-hari. Jauh dari hiruk pikuk kekuasan dan politik.
Dari pertama saya
sudah menemukan kharisma beliau yang bersahaja ketika usai membalas salam kami,
beliau langsung menyapa saya dengan panggilan akrab, layaknya seorang teman.
Itu ciri khas beliau yang menghargai setiap orang meski usianya jauh lebih muda
setingkat anak/cucunya sekalipun.
Saya sempat
menyinggung seberapa sering beliau di tempat (lingkungan masjid) itu? “Sering,”
jawabnya sambal menjelaskan membaca buku dan mengurus masjid lebih banyak
manfaatnya ketimbang mengurusi Aceh hari ini. Sangat mendalam.
Ketika kami
menyampaikan maksud kami, beliau menganjurkan itu (buku) ditulis dengan baik
dan proporsional. “Tidak banyak yang ingat dengan apa yang kita lakukan dulu
(era HDC). Bagian itu seperti terkubur begitu saja. Mereka seperti menutup
mata. Tapi sudahlah, bagian (usaha) kita sudah usai. Yang penting kita kerjakan
lillaahi ta’ala.” Saya melihat
kesedihan yang mendalam dari sosok yang tegar itu, meski penuaannya mulai
kentara. Tentu saja bukan kesedihan karena beliau tidak mendapat tanda jasa,
tapi proses yang dilalui sebelumnya begitu mudah terlupakan. “Padahai tanyoe ta
kerja lam aneuk beudë.” Tambahnya kemudian sambil melirik ke arah kami.
Awal Agustus lalu
saya menelpon beliau untuk sedikit testimony. Saat pembicaraan itulah saya
menjadi lebih paham sikap beliau kenapa menarik diri dari lingkaran kekuasaan
dan politik di Aceh. Saya belum pernah mendengarkan kata-kata yang tidak sopan
(untuk ukuran beliau) kecuali kali ini ketika beliau menggambarkan kondisi Aceh
dan pemerintahannya.
Saya mengerti
tidak ada maksud beliau untuk menilai negative kepada siapapun, tapi sepertinya
gejolak batinnya harus ia lepaskan sebagai bukti kecintaannya terhadap Aceh dan
masyarakatnya. Agar orang-orang mengerti sikapnya. Agar mereka mengerti bahwa
perdamaian ini dibangun atas sekian ribu nyawa masyarakat dan pejuang.
“Pemimpin itu ya memimpin, bukan mencari kemakmuran sekelompok orang.” Itu yang
saya maksud kalimat yang tidak lazim dari beliau.
Sejatinya kalimat
ini menjadi renungan kita bersama untuk mengevaluasi diri dan peran
masing-masing demi Aceh yang lebih baik. Beliau adalah orang tua bagi semua
masyarakat Aceh. Tidak mudah untuk menjadi seorang Imam Syuja’ konon lagi
“mendudukkan” seseorang yang lain di posisinya.
Kini beliau pergi,
setelah Aceh sejatinya sudah mandiri dengan pemerintahan yang dikelola oleh
orang Aceh sendiri dengan kewenangan yang begitu luas. Ketika kesejahteraan
seharusnya sudah mulai merata setelah satu dekade perdamaian Aceh digapai. Baca acehtrend.co
Segenap kami,
memohon kepadamu Yaa Allah, atas jasa beliau, atas segala amal ibadahnya, atas
semua amal baik dan kebaikannya, tempatkanlah beliau di Surga terbaikMu.
Aamiin…
Allaahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi
wa’fu’anh…
Komentar
Posting Komentar