Foto: Pinterest.com
Kala hukum kurang taji, massa bertindak anarki. Azas praduga tak bersalah terabaikan. Jadilah hukum rimba yang berlaku. Saatnya kita kembali berkaca pada sebenar-benarnya syariat, bukan syariat yang dibenar-benarkan.
Agresivitas merupakan perlakuan kekerasan terhadap orang lain. Filsuf sosial dan psikoanalisis, Eric Fromm dalam buku Akar Kekerasan mengungkapkan, pada diri manusia terdapat dua jenis agresi yang berbeda.
Yang pertama desakan untuk melawan atau melarikan diri bila ada ancaman, yang kedua, agresi jahat yang memunculkan kekejaman dan destruktifitas. Agresi ini juga sudah terprogram baik pada manusia maupun hewan secara filogenetik. Erich mengungkapkan, agresi ini selalu mengalami peningkatan pada peradaban manusia dari masa ke masa karena dorongan nafsu.
Kasus pemerkosaan terduga mesum di Langsa menjadi contoh teranyar manusia terbawa agresinya, bagaimana mereka mengabaikan aturan, norma, dan hukum atas nama penggerebekan pelanggar qanun, lalu mereka sendiri menginjak qanun itu.
Semua kita tercengang dengan apa yang terjadi di sana, ketika sekelompok pemuda dengan alih-alih menegakkan qanun tapi kemudian justru diduga menjadi pelaku permerkosaan secara berjamaah terhadap perempuan yang menjadi sasaran penggebrekan.
Kita tentunya tidak boleh gegabah menyebut mereka sebagai orang yang pada mulanya memang bermaksud agar qanun syariah ditegakkan dengan benar, lalu mereka melakukan penggebrekan. Karena bisa jadi ini sebuah protes, atau kesengajaan karena melihat sebuah kesempatan. Dan itu juga berakibat pada ketidakpastian penerapan hukum. Penggebrekan dan penghukuman oleh massa mengakibatkan penerapan hukum menjadi cacat.
Penegak hukum tidak boleh membiarkan begitu saja penghukuman oleh massa. Karena bagaimanapun meski melakukan sebuah kejahatan [kesalahan di mata hukum] namun pelaku masih punya hak untuk menjelaskan dan membela diri, tentu saja sesuai ketentuan yang telah diatur. Bahkan setelah vonis dan dipenjara sekalipun hak pelaku untuk mendapatkan hak-hak dasar tidak dapat dilanggar.
Masyarakat sebagai objek hukum sebenarnya diharapkan sekaligus menjadi pilar bagi penegakan hukum. Namun keterlibatan masyarakat dibatasi pada peran aktif untuk melapor dan menjadi saksi atau memberi keterangan sesuai dengan apa diketahui. Bukan penghakiman. Penghakiman oleh massa semakin menjustifikasi pendapat “kekerasan atas nama agama”. Namun karena keseringan pada akhirnya penghakiman oleh massa dianggap menjadi hal yang biasa.
Hukum syariah yang dituangkan dalam qanun tentu saja tidak boleh sepotong-sepotong. Berbicara tetang hudud zina artinya berbicara tentang beberapa aspek lain yang menyangkut perkara zina, seperti defenisi zina, tuduhan berzina (qazaf), pembuktian dan penerapan hukumnya. Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah tentang esensi pelarangan zina dan bentuk hukuman yang begitu menyakitkan bagi pelakunya.
Zina menurut para ulama mensyaratkan adanya ghiyabul hasyafah atau hilangnya atau masuknya bagian dari kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita. Seperti halnya pertanyaan Rasulullah kepada Maiz ;”…(Apakah) Seperti masuknya almurud(semacam batangan yang bisa masuk ke dalam wadah) ke dalam mikhalah (tempat menyimpan celak mata yang biasanya berupa wadah)? Dan seperti masuknya ember ke dalam sumur?” Maiz menjawab dengan mantap, ”Benar”.
Untuk membuktikan seseorang telah berzina atau tidak, mensyaratkan adanya empat orang saksi yang melihat perbuatan yang sama, di waktu dan tempat yang sama. Dan semua mereka harus dapat meyakini bahwa proses terjadinya zina seperti dimaksudkan di atas benar-benar terjadi dan mereka sepaham untuk itu. Sementara saksi itu sendiri terikat dengan beberapa syarat diantaranya lelaki dewasa, berakal, adil dan dapat dipercaya.
Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka akan terancam dengan hukuman qazaf(menuduh berzina). Surah An-Nur: 4 dengan tegas Allah menyatakan; “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Jika dapat dibuktikan, maka pelaku zina dijatuhi hukuman 100 kali cambuk (an-Nur:2) jika keduanya belum pernah menikah (perawan/jejaka). Dan 100 kali cambuk dan rajam bagi yang sudah menikah (HR Muslim: 3199).
Cambuk, apalagi rajam (melempar dengan batu) dalam cara pikir modern dikesankan tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia. Dari segi perlakuan, bisa saja dipahami tidak manusiawi. Tapi esensi dari hukuman berat ini tidak pernah diperbincangkan sebagaimana halnya hukum potong tangan bagi pencuri.
Hukuman seberat itu pada prinsipnya sebanding dengan upaya pertahanan bagi kehormatan seseorang, apalagi perempuan yang lebih cenderung dianggap rawan karena sewaktu-waktu dapat menjadi korban. Secara moral saja semua orang (nonmuslim juga) sependapat bahwa free sex berdampak buruk pada semua hal khususnya masalah sosial. Dan hal-hal seperti ini pula yang membedakan antara manusia sebagai makhluk berakal dengan bintang.
Jika berlandaskan pada pembuktian zina yang begitu ketat dan hampir tidak memungkinkan, di sana sebenarnya mengandung pesan yang sangat jelas bahwa kehormatan dan marwah diselimuti dan dilindungi oleh hukum dengan ancaman berbalik delapan puluh kali cambuk jika tidak dapat dibuktikan. Bukankah ini tentang hak dasar?
Sama halnya hukuman potong tangan bagi pencuri untuk menjamin hak milik individu yang juga kita sebut bagian dari hak asasi manusia. Demikian beratnya ancaman untuk menjaga harta-harta yang dimiliki sseorang. Bahkan untuk mempertahankan harta tertentu, seorang muslim dianggap syahid apabila meninggal dalam keadaan mempertahankannya. Demikian halnya juga bagi mempertahankan kehormatan.
Namun tanpa sadar kita digiring untuk melihat secara salah tentang tentang hukuman-hukuman berat yang dikesankan tidak manusiawi, padahal itu ada justru untuk mempertahankan hak manusiawi seseorang. Hukuman pada prinsipnya hanya sebuah batasan sebagai ancaman untuk menyadarkan nafsu agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang.
Sekilas membaca saduran awal berita dari berbagai media tentang kasus Langsa jilid dua, beberapa aspek hukum seperti disebutkan di atas tidak bejalan dengan baik. Dan itu tentunya bukan karena kerancuan qanun dan ketidaksiapan para penegak hukum. Hanya saja kita belum sepenuhnya sepaham tentang apa yang semestinya dilakukan.
Di sana ada korban yang diklaim sebagai pelaku. Perempuan dalam kasus ini lebih tepat disebut korban. Karena sejauh ini, Kepala DSI Kota Langsa sendiri belum dapat membuktikan terjadinya kasus zina. Hanya berdasarkan pengakuan si perempuan yang juga bukan diungkapkan sendiri olehnya, tapi penyampaian hasil interogasi. Tentu masih dapat dipertanyakan sejauh mana pengakuan itu benar jika memperhatikan perlakuan yang dialami si perempuan pada penggrebekan itu.
Tapi, bagaimanapun, sekali lagi wajah Aceh tercoreng oleh ketidaksiapan kita semua. Media nasional dan internasional menyadurkan berita menurut pemahaman mereka sendiri tentang “qanun kita”. Belum lagi cara pikir masing-masing pemilik akun di sosial media yang mengomentari dengan bumbu semi provokasi. Lalu kita mencoba menghadang mereka dengan menyebut mereka orang-orang yang menentang hukum Tuhan.
Kita khilaf untuk mengevaluasi tentang apa yang terjadi selama ini. Sejauh mana aturan itu efektif dan mempengaruhi cara hidup masyarakat. Kita sibuk memaksakan arah yang sama disaat hampir semua orang memiliki kompas dan penunjuk arah yang sama.
Di sekeliling kita orang-orang juga sibuk mempertanyakan bukankah Aceh dikenal Serambi Mekkah sejak dahulu dan Islam nusantara masuk dari Aceh? Sebagian kita juga berpikir di mana ulama Aceh? Kenapa bukan ulama yang sejatinya memahami hukum agama yang berdiri di depan untuk merancang dan menjaga penerapan qanun ini?
Kita tidak boleh lupa bagaimana dan di saat seperti apa ide pemberlakuan syariat Islam di Aceh itu hadir dan dideklarasikan. Meskipun bukan saatnya lagi untuk berbicara penolakan (bagi yang berpandangan sebagai konsensus politik), namun baiknya dapat dijadikan landasan evaluasi agar penerapan qanun ini benar-benar memberi manfaat secara kaffah bagi seluruh masyarakat Aceh dunia dan akhirat. Aamiin.[]
Komentar
Posting Komentar